Mantan Panitia Seleksi (Pansel) anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, tersebut sejak lama menggeluti kasus-kasus money laundering jauh sebelum TPPU marak di Indonesia. Iapun menjadi langganan para penegak hukum menjadi saksi ahli di persidangan kasus-kasus TPPU.
Sebut saja, menjadi saksi ahli dalam kasus pembobolan Bank Negara Indonesia (BNI) Andrian Woworuntu, kasus korupsi pegawai pajak Bahasyim Assifie, kasus penggelapan pajak oleh Gayus Tambunan, dan kasus TPPU oleh Labora Sitorus. Kemampuan akademis Yenti kerap dibutuhkan aparat penegak hukum menjelaskan perkara-perkara yang berkaitan dengan TPPU.
Yenti meraih gelar doktor pencucian uang dari Universitas Indonesia (UI) pada 2003 setelah mempelajari 300-an putusan Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat pada 2000-an. Saat itu, pengadilan Indonesia belum mengenal putusan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Kecintaannya dengan kasus-kasus TPPU, ibu dua putra, suami Jenderal TNI Bambang Prasetya, ini memberikan publik pengetahuan tentang money laundering, dengan meluncurkan buku setebal 411 halaman berjudul Kriminalisasi Pencucian Uang. Yenti juga pernah melakukan road show bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk menyosialisasikan TPPU.
Berikut petikan wawancara Yenti Garnasih dengan cahaya.news, di ruang kerjanya Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, beberapa waktu lalu terkait TPPU, Undangan-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Pemilik Manfaat Korporasi dalam rangka Pencegahan TPPU dan Tindak Pidana Terorisme.
Bagaimana tanggapan Anda, terkait dengan upaya pemerintah yang gencar memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), selain UU Nomor 8/2010 juga keluarnya Perpres Nomor 13/2018 ini?
Terkait dengan TPPU ini, selain UU Nomor 8/2010 dan Perpres No.13/2018 juga ada Perma (Peraturan Mahkamah Agung 01 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. TPPU itu terjadi ada orang melakukan korupsi dan uang hasil korupsinya itu digunakan untuk sesuatu. Kalau kita waspada dengan pencucian uang berarti kita juga mewaspadai dengan berbagai kejahatan, termasuk korupsi, narkoba, illegal logging dan sebagainya
Uang hasil korupsi kejahatan-kejahatan perbankan, misalnya Century. Kenapa kita memakai istilah korupsi, untuk kasus itu, hanya karena banknya, ada LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Padahal kalau kita melihatnya, ini ada permainan yang menggunakan lembaga perbankan, yang mana kejahatan perbankan terjadi, korupsi. Perbankan yang dilibatkan dalam kejahatan ini menggunakan uang negara. Contoh Century (Bank Century) dan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang menggunakan bank. Setelah itu uang hasil korupsi digunakan untuk apa. Menggunakan hasil korupsi inilah yang namanya TPPU.
Kalau dikatakan kita akan memberantas tindak pidana pencucian uang, berarti kita memberantas kejahatan asalnya. Begitu konteksnya, jadi kita tidak mungkin hanya memberantas TPPU nya saja, karena TPPU itu suatu perbuatan atas hasil dari kejahatan. Jadi kalau kita mau memberantas TPPU sebetulnya tujuannya adalah penuntasan pemberantasan korupsi.
Bisa dijelaskan jika memberantas TPPU berarti juga memberantas kejahatan asalnya?
Ya begitu. kita mengungkap kejahatan dari hulunya, termasuk dalam penuntasan dan pemberantasan kejahatan perbankan. Demikian juga cara berpikir organisasi seperta FATF (Financial\Action Task Force (FATF) on Money Laundering). Harus dipahami dalam pemberantasan TPPU berarti kita juga memberantas kejahatan asalnya, seperti illegal logging, illegal fishing, korupsi, kejahatan perbankan.
(Financial Action Task Force-FATF on Money Laundering) telah menyusun 40 FATF Recommendations 2012 sebagai standar internasional APUPPT. Salah satu rekomendasinya mengharuskan setiap negara untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevakuasi risiko tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme atas negara tersebut, mengambil tindakan, serta memutuskan otoritas yang akan mengkoordinasikan kegiatan penilaian atas risiko dan pendayagunaan sumber daya yang bertujuan untuk memastikan bahwa risiko yang ada telah dimitigasi dengan efektif)
TPPU ini bisa melibatkan pihak lain ya, seperti lawyer dan notaris. Bagaimana menurur Anda?
TPPU adalah follow up crime atau kejahatan lanjutan dari kejahatan yang ada di hulu. Di kejahatan asalnya mungkin pelaku itu sendiri yang melakukannya, misalnya dia gunakan hasil korupsi itu untuk membeli rumah, diinvestasikan di bidang property. Nah di sini akan ada keterlibatan pihak lain. Jika kejahatan TPPU nya sedang diperiksa, berarti setelah terjadi korupsi, kejahatan narkotika, dan uang hasil kejahatan perbankan itu dimanfaatkan untuk membeli property. Nah disinilah kita akan berhadapan dengan pihak lain berkaitan dengan pengalihan perubahan uang menjadi property, berarti akan ada pihak-pihak lain, seperti notaris.
Nah keterlibatan seperti itu, artinya apa? Untuk para notaris harus waspada. Kalaupun tidak terlibat juga pasti akan diperiksa minimal dimintai keterangan.
Undang-Undang Money Laundering pertama kali dimiliki oleh Amerika, karena kasus-kasus money laundering di sana banyak sekali dan melibatkan lawyer, notaris pada waktu melaundering-nya. Sejauh mana mereka yang membantu itu bisa menduga, tidak harus tahu namun cukup menduga bahwa yang akan dilakukan itu misalnya membuat akta notaris, yang menyatakan property ini dibeli dan uangnya tidak berasal dari hasil kejahatan. Kalau tidak yakin betul, nantinya pihak kepolisian bisa menilai dan bisa kena itu. Kurator juga bisa, karena ada beberapa kasus kejahatan yang melibatkan kurator.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menurut saya, sangat sedikit menerapka TPPU dalam penanganan kasus korupsi. Tidak semua kasus korupsi disertakan dengan TPPU nya, padahal menurut saya, itu salah. Dia (KPK) selalu mengatakan kita sangat hati-hati, saya tidak setuju.
Kenapa tidak setuju dengan tindakan KPK yang menangani kasus korupsi dengan hati-hati?
Polisi (Polri) juga hati-hati kok, tidak boleh mengatakan KPK sangat hati-hati. Apakah KPK pikir polisi tidak hati-hati dalan menangani kasus-kasus korupsi? Hati-hati juga kok. Apakah karena KPK tidak memiliki kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kemudian KPK menjadi lamban dalam menangani kasus-kasus korupsi? Nggak boleh begitu.
Ini perlu kita pikirkan. saya katakan penegakan hukum TPPU oleh KPK cukup banyak, lumayanlah. Namun, yang ditangani KPK dibandingkan dengan yang ditangani penyidik kepolisian maupun kejaksaan masih kalah banyak. Kenapa saya katakan banyak, karena kebetulan juga setiap tahun saya banyak terlibat sebagai ahli baik di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik maupun saya hadir di pengadilan, sebagai ahli yang memberikan keterangan.
Saya tidak tahu di kepolisian (kasus-kasus korupsi yang ditangani) jauh lebih leading dibandingkan dengan di KPK. Ada hal yang kita dorong kepada KPK, agar Pasal 75 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) memberikan kewenangan KPK untuk menyidik perkara TPPU yang tindak pidana asalnya korupsi.
Pasal 75 UU No.8 Tahun 2010 mengatur, dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada PPATK ( Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).
Nah, Pasal 75 UU TPPU itu, harus dipahami dan dilaksanakan. Maka ketika penyidik sedang melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap perkara korupsi, jika dia (pelaku) melakukan money laundering, penyidik juga harus menanyakan uangnya kemana, kemudian KPK melakukan penyitaan, penelusuran. Nah menurut saya sebenarnya KPK telah melakukan proses penyidikan dan penyelidikan TPPU, tetapi kenapa KPK membatasi dirinya. Meskipun dia telah melakukan penyitaan dia hanya berpikir, hanya melakukan untuk kasus korupsi saja. Nah ini yang bikin saya agak kecewa kalau seperti itu.
Bisa Anda contohkan kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK namun tidak menyertakan TPPU nya?
Banyak kasus kan, misalnya kasus e-KTP yang melibatkan Setya Novanto, kasus Anas Urbaningrum, kasus Angelina Sondak, Nazarudin. Apapun tahapannya yang ditangani oleh KPK dan sudah di sidangkan dipengadilan, posisi KPK sudah punya barang bukti dan sudah menyita (barang bukti). Kenapa KPK menyita rumah, padahal yang dikorupsi adalah uang, karena uang hasil korupsi itu sudah diinvestasikan menjadi rumah.
Nah berarti saat KPK menyita rumah artinya dia sudah menyentuh ranah TPPU. Begitu kan faktanya, kecuali dia (para pelaku)membeli rumah dan rumah itu didapatkan (dibeli) sebelum mereka korupsi untuk persiapan uang pengganti. Itu ok. Di situ saja menurut saya kPK sudah bisa menyangkakan dua dakwaan sekaligus yakni korupsi dan TPPU.
Nah ternyara dari hasil korupsi, para pelaku menggunakannya untuk membeli rumah dan apartemen, maka penyidik harusnya menggabungkan penyelidikannya, antara korupsi dan TPPU. Jadi sangkaannya sudah langsung dua, atau komulatif. Ada beberapa kasus KPKsudah menggabungkan dakwaan komulatif korupsi dan TPPU, namun hanya beberapa, masih sedikit. KPK hanya melakukan dakwaan pada ranah korupsi agar korupsi jalan dengan pengembangan di pengadilan baru TPPU nya jalan. Ini terlambat.
Apa resiko jika KPK melakukan demikian?
Mereka (KPK) katakan hati-hati dalam menangani kasus korupsi. Saya tidak setuju itu. Resikonya kalau menggunakan penyitaan dan pemblokiran di perbankan dengan menggunakan Undang-Undang Korupsi saja jalurnya lebih panjang, harus minta izin di pengadilan, OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Tetapi kalau penyitaannya menggunakan TPPU bisa langsung ke bank, itu kan manfaatnya. Jadi kalau KPK memisahkan dakwaan, kemungkinan uang itu susah dilacak. Kemungkinan harta kekayaan hasil korupsi ini bisa hilang. Ini kerugiannya.
Dan itu tidak sesuai dengan No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Filosofi UU itu kita miliki dengan harapan bisa dapat membantu penegak hukum untuk secepat mungkin menelusuri hasil kejahatan. Tidak hanya korupsi namun juga TPPU untuk penuntasan kasus korupsi. Bukan sekedar tahu siapa pelakunya tapi juga menuntaskannya. Uangnya di mana dan bagaimana bisa secepatnya uang hasil korupsi dan TPPU itu ditarik kembali dan dikembalikan kepada negara.
Terkait dengan Perpres No 13/2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Korporasi dalam rangka Pencegahan TPPU dan Tindak Pidana Terorisme, bagaimana Anda melihatnya?
Perpres ini, untuk menekan pentingnya kewaspadaan kita atas TPPU, ada kejahatan pendanaan terorisme. Pendanaan terorisme itu tidak harus pencucian uang, meskipun bukan dari hasil kejahatan. Perpres ini juga mengupas tentang penerima manfaat dari korporasi (beneficial owner) jika korporasi ini terlibat dalam perkara TPPU bagaimana caranya. Selama ini jika ada kejahatan korupsi dan ada korporasinya yang terlibat dan menikmati hasil money laundering, yang dipidana adalah per-orangan.
Kejahatan korporasi dapat mengancam stabilitas dan integritas perekonomian nasional. Kalau berbicara TPPU, kita bicara banyak kejahatan termasuk pendanaan terorisme, juga disebut pencucian uang, hanya dana tindak pidana terorisme tidak harus dari pencucian uang. Yang lebih berbahaya sebenarnta pendaan terorisme kalau dikatkan dengan kejahatan, dari kejahatan narkotika.
Terkait korporasi, perlu adanya mekanisme untuk mengenali pemilik manfaat. Standar internasional mendorong kita mengatur siapa sih pemilik manfaat dari suatu korporasi, karena pada mereka inilah mengalirnya uang-uang hasil kejahatan, sehingga kita mencari cara bagaimana bisa menyentuh kejahatan mereka.
Terkait TPPU, di dalam dunia perbankan ada peraturan-peraturan maupun Undang-Undang Perbankan. Kita mengenal Know Your Customer (KYC), atau prinsip mengenal nasabah dalam upaya preventif agar lembaga-lembaga dalam sistem keuangan tidak mudah digunakan sebagai obyek, sarana, atau tujuan kejahatan pidana khususnya tindak pidana pencucian uang (money laundering). Di situ juga disebutkan dengan jelas, termasuk komisaris, direksi, pengurus, pihak pengendali korporasi. Jadi Perpres ini hanya menguatkan saja. Seharusnya lebih efektif lagi.***ahmad***





Posting Komentar