Oleh: Tim Redaksi.
Di atas kertas, laut Indonesia seharusnya sunyi senyap dari aktivitas ekspor tambang mentah. Sejak palu kebijakan diketuk keras pada 1 Januari 2020, Presiden telah bersabda: "Hilirisasi adalah harga mati." Sejak detik itu, haram hukumnya tanah merah mengandung nikel keluar dari gerbang Nusantara tanpa diolah di dalam negeri.
Namun, di balik meja-meja birokrasi yang dingin dan tumpukan dokumen negara yang dengan percaya diri menyatakan "Nol Ekspor", ada sebuah sihir " gelap yang sedang bekerja di lautan lepas.
Ribuan mil di utara, di dermaga-dermaga sibuk Tiongkok, derek-derek raksasa justru bekerja lembur. Mereka tidak sedang membongkar angin. Mereka membongkar muatan nyata, berat, dan bernilai miliaran dolar: 5,3 juta ton biji nikel dari Indonesia.
Data Pabean China mencatat kedatangan "tamu agung" dari Indonesia ini dengan tinta tebal pada periode pelarangan (2020-2022). Sementara di Jakarta, data Bea Cukai dan BPS kita bersih tak bernoda. Seolah-olah 5 juta ton tanah di Sulawesi dan Halmahera lenyap ditelan bumi, lalu bim salabim, muncul kembali secara ajaib di Pelabuhan China.
Ini bukan sekadar selisih angka desimal akibat salah ketik, ini bukan penyelundupan satu koper berlian yang bisa disembunyikan di balik jaket tebal di bandara.
Kita sedang berbicara tentan 5 juta ton.
Untuk memindahkan volume tanah dan batu sebesar itu, dibutuhkan armada kapal tongkang dan mother vessel yang berbaris bak semut raksasa di lautan. Dibutuhkan ribuan ritase truk yang meraung-raung di jalan tambang siang dan malam. Dibutuhkan aktivitas bongkar muat kolosal yang mustahil tidak terlihat oleh mata telanjang, apalagi oleh satelit, radar dan sistem pengawasan negara. Lantas, pertanyaan besarnya: Bagaimana konvoi raksasa ini bisa berubah menjadi "Armada Hantu"?
Apakah mata sistem pengawasan kita yang mendadak rabun, atau ada "tangan-tangan tak terlihat" yang memiliki kunci cadangan untuk membukakan pintu belakang negara ini selebar-lebarnya?
Di saat rakyat dininabobokkan dengan janji kemakmuran dari nilai tambah hilirisasi, kekayaan alam mereka justru bocor deras bak air bah. Negara bukan sekadar kecolongan; negara sedang dirampok di siang bolong, tepat di depan hidung para penjaganya. Triliunan rupiah dari royalti dan pajak yang seharusnya membangun sekolah, jalan dan rumah sakit, kini menguap menjadi asap industri di negeri orang. Tanah kita berpindah, namun uangnya tak pernah singgah.
Namun, kengerian yang sesungguhnya bukanlah pada hilangnya tanah itu, melainkan pada realitas siapa yang memindahkannya dan bagaimana negara memperlakukan mereka.
Ini bukan kasus pencurian ayam yang pelakunya bersembunyi ketakutan di kegelapan. Di balik operasi penyelundupan kolosal ini, nama-nama " pemain" sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di lingkaran kekuasaan. Inisial demi inisial, korporasi demi korporasi, sempat disebut-sebut dalam ruang rapat dengar pendapat parlemen hingga bocoran dokumen investigasi. Jejak aliran barang seolah sudah terpampang nyata.
Tapi, lihatlah apa yang terjadi kemudian: Hening.
Mereka adalah golongan The Untouchables. Para aktor yang seolah memiliki jubah gaib kekebalan hukum. Bagi kelompok elite ini, hukum di negeri ini bukanlah pedang bermata dua yang adil, melainkan plastisin yang lunak yang bisa dibentuk, ditekuk dan dipermainkan sesuai kepentingan bisnis mereka.
Ketika nama mereka disebut, alih-alih borgol yang mendekat, justru lobi-lobi tingkat tinggi yang bekerja senyap. Kasus yang seharusnya meledak dahsyat mengguncang istana, perlahan diredam menjadi letupan kecil, lalu senyap tertiup angin politik.
Rakyat kembali dipaksa menonton sebuah pertunjukan sirkus keadilan yang menyakitkan: bagaimana para perampok kekayaan negara melenggang bebas, berdasi rapi, dan tersenyum di depan kamera. Sementara itu, hukum kita hanya terbukti tajam mengiris kebawah, tetapi tumpul–bahkan patah berkeping-keping–saat membentur tembok tebal kekuasaan mereka.
Negeri ini sejatinya tidak kekurangan bukti untuk menyeret para penyelundup 5 juta ton nikel itu. Negeri ini hanya sedang kehabisan nyali untuk menyeret para "dewa" tersebut turun dari singgasananya.




Posting Komentar